Mei Hwa adalah seorang anak remaja keturunan cina. Parasnya ayu. Siapapun, baik itu guru, teman-teman, orangtua, maupun orang tak dikenal, akan kagum padanya. Tetapi sayang, dibalik itu semua, dia adalah anak yang sombong.
Suatu hari, saat Mei Hwa datang ke sekolahnya, SMU Tunas Negeri, Ia datang dengan mengenakan seuntai kalung. Kalung itu sangat elok. Warnanya abu-abu, cocok dengan seragam putih abu-abunya. Agaknya, kalung itu terbuat dari batu yang ringan, atau sudah dibuat ringan. Mei Hwa berjalan layaknya model, berlenggak-lenggok kesana-kemari. Sambil berlenggak-lenggok ia berkata, “Hei Kawan, lihatlah kalung baruku ini. Indah bukan? Kalung ini baru dibeli Ayahku kemarin, asli dari Negara Cina”. Teman-temannya, seperti Lyla, Venna, Linda, Miranda, sudah biasa melihat gaya temannya itu. Jika Mei Hwa sudah mulai sombong, mereka hanya dapat mengacuhkannya.
“Hei??? Apa kalian mendengarku? Apa kalian mengacuhkanku?! Ayolah, aku sedang berbicara pada kalian!” teriak Mei Hwa dengan penuh emosi. “Wah, benarkah? Kalau begitu, aku ingin pergi ke rumahmu, melihat semua koleksi dari Negara Cina yang dibeli ayahmu itu. Bagaimana, boleh kan?” jawab Lyla akhirnya, sambil membetulkan kerudungnya. “Tidak!!! Jangan! Dirumahku sedang ada banyak tamu, dan rumahku akan terlalu sempit jika kalian datang, maka rumahku tidak akan enak lagi untuk ditempati. Tak apa kan?” elak Mei Hwa. Ia pun pergi dengan wajah tertunduk.
Sebenarnya, Mei Hwa tidak sesempurna yang barusan aku katakan diatas. Selain sifatnya yang sombong, Mei Hwa juga anak yang aneh. Ia tidak pernah mau jika rumahnya dikunjungi teman-teman sekolahnya. Hingga saat ini, tak ada yang tahu mengapa. Maka, jika temannya berbicara yang ada sangkut-pautnya dengan rumahnya, Ia takkan menjawab. Dan seperti yang Dia lakukan barusan, pergi dengan wajah tertunduk.
Sore itu adalah sore yang cerah bagi semua orang. Bagi beberapa orang, itu hari yang menyenangkan untuk berjalan-jalan. Dan itulah yang dilakukan Linda.
Linda berjalan melewati sebuah warung bakmie yang terkenal enak di daerah itu. Katanya, bakmie yang lezat itu dibuat oleh seorang anak SMU, usia yang relatif muda untuk pembuat bakmie terkenal.
Sambil berjalan, Linda sedikit menengok ke dalam warung, untuk mengetahui isi dari warung legendaris itu. Didalam warung, dilihatnya dua orang gadis – satu gadis berusia sebaya dan satu lagi agak lebih tua– yang sedang kerepotan melayani pembeli. Gadis yang berusia sebaya dengan Linda itu sedang memasak bakmie, dan rambutnya yang panjang membuat mukanya tertutupi. Sedangkan gadis yang usianya lebih tua dari Linda sedang mencatat pesanan para pembeli. Gadis yang lebih tua itu berponi pendek, jadi mukanya cukup terlihat dari luar. Wajah gadis berponi pendek itu cantik sekali, dan wajahnya sama persis dengan wajah… Mmm… Siapa, ya? Linda berpikir keras. Ia berusaha mengingat-ingat wajah itu. Itu… Mmm… Kak Ming Ming! Iya, tepat sekali! Itu wajah Kak Ming Ming, kakak dari Mei Hwa! Tetapi, Linda masih ragu. Ia pun pergi dengan linglung.
Suatu hari, Linda mengajak Venna, Lyla, dan Miranda makan di warung bakmie terkenal itu. Ia tidak mengajak Mei Hwa karena Mei Hwa buru-buru pulang ke rumahnya setelah Mei Hwa mendapat telepon dari ayahnya–sepertinya sangat gawat– lalu Mei Hwa langsung pamit pada semua temannya. Dan pada saat itu, Linda sudah lupa pada kejadian tentang Kak Ming Ming….
Akhirnya, mereka berempat sampai di warung bakmie. Karena sudah lapar, mereka langsung memesan bakmie pada seorang gadis berponi pendek.
Saat melihat gadis berponi pendek itu, Linda seperti mengalami déjà vu. Ia tiba-tiba yakin, gadis itu adalah Kak Ming Ming. Suaranya, tatapannya (meskipun menunduk kebawah karena sedang menulis), gaya berpakaiannya… Tetapi, pertanyaan utamanya, jika ada Kak Ming Ming, dimana Mei Hwa?
Linda tak sempat bertanya pada gadis itu, siapa namanya. Karena gadis itu sudah melangkah menuju bagian dalam warung itu – rumahnya, mungkin – yang ditutupi tirai plastik berwarna merah. Linda sempat melirik ketiga temannya, tampaknya mereka tak acuh pada gadis tadi.
Seorang gadis lainnya, yang saat itu dilihat Linda dalam keadaan wajah tertutupi poninya yang agak panjang, datang dengan tampilan seperti itu lagi. Sepertinya, dialah gadis SMU yang disebut-sebut sebagai pencipta bakmie lezat ini.
“Hei, teman-teman! Menurutmu, apakah itu Mei Hwa, yang sedang memasak bakmie?”
“Jangan bodoh, Linda. Mei Hwa orang kaya, tak mungkin Ia memasak bakmie di warung seperti ini. Minimal Ia memasak di hotel. Berpikirlah dengan sedikit logika”
“ Tapi Miranda, gayanya seperti Mei Hwa. Lagipula, gadis yang mencatat pesanan kita tadi sepertinya Kak Ming Ming”
Kini keempat anak remaja itu memperhatikan kedua gadis yang sedang memasak dan mencatat dengan serius. Tampaknya, Venna, Lyla, dan terutama Miranda sudah mulai mempercayai kata-kata Linda.
“Sepertinya benar apa katamu, Linda. Tetapi, kita masih harus membuktikan benar atau tidaknya. Kalau salah, kita juga kan yang malu” kata Lyla.
“Ya sudah, aku saja yang akan membuktikan” jawab Venna.
Keempat remaja itu terdiam dalam hati, mereka menghitung. Satu… Dua… Tiga…
“Mei Hwa?” Tanya Venna pada gadis yang sedang memasak itu.
Sepertinya, gadis itu agak terkejut , tetapi Ia menjawab, “Ya? Ada ap..apa?” jawabnya, dengan sedikit gugup.
“ Apa kamu bersekolah di SMU Tunas Negeri?”
“I…Iya”. Gadis itu berhenti memasak.
“Mempunyai kakak bernama Ming Ming?”
“I… Iya. Ken... Kenapa kamu bisa tahu?”
“Mempunyai teman bernama Venna, Lyla, Miranda, dan Linda?”
“Kutanya mengapa kau bisa tahu! Jawab! Bukan balik bertanya!” Gadis itu sepertinya cukup kaget.
“ Apa kamu tidak pernah mau rumahmu dikunjungi teman-teman sekolahmu?” Venna mulai menyerang.
Gadis itu pasrah. Sepertinya Ia menangis. Ia pun membalikkan tubuhnya, dan menyibakkan poni yang sepertinya membuat Ia jengkel juga.
“Mei Hwa???” Teriak Venna, Linda, Miranda, dan Lyla serempak.
Gadis itu–yang sebenarnya Mei Hwa–menangis. Bukan menangis meraung-raung seperti di opera sabun, tetapi menangis dalam diam, dengan tatapan pasrah dan bersalah. Semua yang hadir di warung menyaksikan pertunjukkan dramatis itu.
“Ya, ini aku, Mei Hwa yang sebenarnya. Mei Hwa yang miskin, yang hanya bekerja sebagai pembuat bakmie. Mei Hwa yang bodoh, yang tak mampu membeli sepeser pun barang berharga. Kalung batu dan lainnya, pinjaman dari tetangga. Terserah kalian, mau memperlakukanku seperti apa setelah ini. Mau mengacuhkanku, silahkan. Mau memusuhiku, boleh saja. Mau mengejekku, tak ada yang melarang” kata Mei Hwa, dengan air mata yang bercucuran makin deras.
Kini keempat remaja itu mengerti, apa yang telah terjadi selama ini. Mereka tiba-tiba tidak marah pada Mei Hwa, tetapi merasa iba. Mereka justru merasa bersalah sudah memusuhi Mei Hwa. Mereka serasa ingin merangkul dan rela melakukan apa saja, asal Mei Hwa mau memaafkan mereka.
Tiba-tiba, Venna melakukan sesuatu yang–mungkin semua yang menonton, bukan hanya Lyla, Miranda, Linda, dan Mei Hwa– tak diduga.
“Baiklah Mei Hwa. Kau membuat kami merasa bersalah. Sudahlah, lupakan saja masalah ini. Aku mungkin marah padamu, tetapi aku sadar, kita semua yang salah” kata Venna bijak, dan ini adalah peristiwa langka, jarang terjadi.
“Ya Mei Hwa, mungkin kau salah, tetapi kami juga salah. Harusnya kami bertanya dulu padamu, atau menyadarkanmu. Dengan begitu takkan ada kericuhan seperti ini…” Lyla menimpali.
Akhirnya, Mei Hwa berhenti menangis. Pelan-pelan Ia mengusap air matanya dengan sapu tangan berwarna ungu yang terbuat dari kain flannel.
Tiba-tiba Miranda berkata, “Hei Mei Hwa!!! Aku pesan lima mangkuk bakmie ya! Dan jangan pakai lama.”. Tentu saja, semua orang tersentak mendengar perkataan Miranda, tetapi tidak ada yang berkomentar.
Mei Hwa datang dengan lima mangkuk bakmie. Mmm… sepertinya lezat! “Teman-teman, ini bakmie-nya. Lho, satu mangkuk lagi untuk siapa?” Tanya Mei Hwa heran.
“Tentu saja untukmu, Mei Hwa! Untuk siapa lagi,coba? Ini sebagai ucapan maaf dari kami…” jawab Miranda.
Mei Hwa terharu sekali. Ia pun menitikkan air mata, sekali lagi. “Ayo, duduk disini bersama kami. Kita makan bersama. Lagipula semua pelanggan sudah terlayani, kan?” ajak Linda.
Akhirnya, setelah makan-makan selesai, setelah mereka bermaafan dan berjanji takkan saling menyakiti hati, keempat gadis itu pun pulang. Sebelum pulang, Mei Hwa memberikan sesuatu untuk mereka.
“Ucapan maafku,” kata Mei Hwa lirih.
Mereka membuka kain yang menutupi barang itu. Empat buah cincin persahabatan! Cincin itu indah sekali, berwarna perak berkilau, sepintas terlihat seperti cincin kawin, tetapi di bawah cincin itu, kecil sekali, tertulis dengan spidol permanen:
MLLVM ( Mei Hwa, Lyla,Linda, Venna, Miranda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar