Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang Pembuat Roti dan seorang tetangganya, bernama Si Kaya. Kehidupan Pembuat Roti dan Si Kaya amatlah berbeda. Pembuat Roti hidupnya sangat sederhana. Dia harus bekerja setiap hari mulai dari pagi hingga larut malam. Pekerjaannya membuat roti. Dan jika ia tak bekerja, tak ada uang di kantungnya. Sepeser pun. Tapi, Pembuat Roti sangat ramah. Dia mau menolong siapa saja. Kalau dia sedang banyak uang, orang yang sama miskinnya dengan dia saja, dia tolong. Karena kebaikannya itu, dia disayang seluruh warga di desa tempat mereka tinggal. Roti buatannya juga lezat. Ada rasa blueberry, raspberry, strawberry, lalu ada juga rasa ayam, sapi, dan rasa peterseli juga ada. Makanya seluruh warga desa menyukai rotinya.
Sementara Si Kaya, adalah pemilik toko kelontong. Memang hanya toko kelontong, tetapi entah mengapa barang-barangnya selalu laku. Mungkin karena kualitas barang yang ia jual. Kualitas nomor satu.
Suatu hari, saat Pembuat Roti sedang dalam perjalanan pulang dari menjual sebagian roti ke toko roti di kota, Pembuat Roti berpapasan dengan Si Kaya. Tanpa disengaja, Pembuat Roti menyenggol Si Kaya, sehingga semua barang yang dibawa Si Kaya untuk toko kelontongnya—kapur,penghapus papan tulis, beberapa kantong terigu, kapas, sedikit cereal, beberapa plastik mainan anak-anak, dan beberapa kantung kecil berisi aksesori wanita—berhamburan. Tentu saja Si Kaya marah melihat tepungnya tumpah, kapur-kapurnya patah, cereal yang ia bawa kini bercampur dengan debu. Barang-barang lainnya tergeletak begitu saja di tanah.
“Ma… Maafkan saya, Tuan Kaya…” kata Pembuat Roti dengan segera, sebelum dia terkena amarah Si Kaya bertubuh besar itu. Tapi usahanya meminta maaf segera sia-sia. “Kamu ini! Dasar miskin! Tak terhitung berapa kali kamu menabrak saya! Terlalu! Lihat, sekarang semua barang-barang saya hancur lebur. Gantikan!” bentak Si Kaya tanpa perasaan. “Maaf Tuan, mata saya memang sudah…” belum sempat Pembuat Roti menyelesaikan perkataannya, Si Kaya sudah melabrak lagi: “Matamu apa, hah???!!! Rabun?! Katarak?! Atau buta?!” umpat Si Kaya. Setelah itu Si Kaya segera pergi. “Rabun…” jawab Pembuat Roti lirih, setengah berbisik pada siapa saja yang mendengarkan.
Pembuat Roti tak mau terlalu memikirkan hal ini, Ia hanya akan berjanji akan lebih hati-hati. Terutama pada Si Kaya. Segera Ia bergegas pulang menuju rumahnya: toko roti yang berada dipinggir danau dibawah bukit nun jauh disana.
Tetapi lain halnya dengan Si Kaya. Ia masih marah, masih mengumpat kata-kata kasar tak jelas pada Pembuat Roti. Bahkan Ia pun memandang sinis pada toko roti Pembuat Roti. Tiba-tiba, akal bulus muncul dalam pikiran Si Kaya…
Saat Pembuat Roti sedang membersihkan sisa-sisa pembuatan roti di malam hari, Si Kaya mengendap-endap masuk kedalam halaman belakang rumah pembuat Roti, menunggu saat yang tepat.
“Hoaaammmm… Ahh, aku mengantuk. Sebaiknya sekarang aku tidur saja, agar besok dapat bekerja dengan baik…” kata Pembuat Roti akhirnya, saat melihat waktu sudah menunjukkan hampir pukul 23.30. Lalu Pembuat Roti pun masuk kedalam kamarnya…
Dengan segera Si Kaya memasuki tempat pembuatan roti. Si Kaya mulai menjalankan aksinya. Ia mengambil beberapa peralatan memasak, lalu mengambil dua karung tepung yang dia anggap sebagai ganti rugi. Si Kaya tertawa jahat, merasa puas. Si Kaya melakukan ini bukan karena barang-barang Pembuat Roti bagus dan dapat dijual sehingga menguntungkan Si Kaya, tentu saja bukan—Si Kaya memiliki segalanya—tetapi hanya untuk membuat Pembuat Roti menderita. Membuat Pembuat Roti merasakan bagaimana kehilangan barang-barang yang dapat menghasilkan uang. Si Kaya pun segera membawa pergi barang-barang hasil curiannya itu.
Esoknya, seluruh warga desa gempar. Sejak mereka mendengar teriakan histeris dari dalam toko roti, warga desa, dari anak balita hingga tetua di desa itu, sibuk mencari-cari barang. Mereka mencari-cari di dalam hutan, di bawah bangku, di kereta bayi, sampai didalam gua. Dan mereka masih belum menemukan apa-apa. “Kek, kasihan sekali ya, Paman Pembuat Roti,” kata seorang anak berusia 5 tahun. “Iya. Kalau hampir semua barangnya hilang, bagaimana mau membuat roti… Barusan saja dia sampai teriak histeris begitu. Siapa yang tega mencuri barang-barang Pembuat Roti?”jawab Kakek itu. Mereka pun melanjutkan perjalanan mencari barang-barang milik Pembuat Roti.
Si Kaya mulai waspada. Ia takut kalau-kalau salah seorang warga menemukan barang Pembuat Roti di rumahnya. Kemarin Ia memang tidak berpikir panjang. Sekarang apa yang akan Ia lakukan? Berpura-pura menjadi pahlawan dengan berpura-pura menemukan barang-barang Pembuat Roti yang tiba-tiba ada didalam rumahnya? Si Kaya melihat lagi piagam yang terpajang pada dinding rumahnya. “JUARA PERTAMA LOMBA DESA TERCERDAS, DESA KREATIF, DAN DESA SEJAHTERA”Desa itu tidak bisa dibohongi, semua warga disana pintar. Buktinya saja piagam tadi.
“Apa maksudmu mencuri, hah?! Kau punya segalanya, Kaya. Kenapa kau masih tega mencuri dari manusia baik hati seperti Pembuat Roti?! Dasar tidak tahu diuntung!!!” bentak Kepala Desa pada Si Kaya. Si Kaya tak diberi kesempatan untuk berbicara lagi. Yang Ia lakukan sekarang hanya pasrah pada keadaan. Tiba-tiba dari kejauhan terlihat Pembuat Roti menangis sembari duduk dibawah pohon. Pembuat Roti menangis lebih kencang ketika Si Kaya mendekati Pembuat Roti.
“Tahu tidak, bodoh?!” umpat Kepala Desa pada Si Kaya. “A… A… Apa?””Saat saya dan warga melaporkan pada Pembuat Roti kalau kamu yang mencuri, Pembuat Roti menjadi kaget! Lalu…”Kini Kepala Desa terisak-isak. “Lalu apa, Pak Kepala?”tanya Si Kaya. “Lalu… Pembuat Roti menjadi stress, dan akhirnya sekarat, dan… Dan… Dan…” Kepala Desa berhenti lagi. “Pembuat Roti… Me… Me… Meninggal…” lanjut Kepala Desa.
“Apa???!!! Tidak mungkin! Tidak mungkin ini terjadi! Tidak mungkin orang se… Se… Sebaik itu… Meninggal!!! Dia adalah orang terbaik dan tersabar yang pernah aku kenal! Aku menyesal, Pak… Aku menyesal…”Si Kaya mencurahkan semua isi hatinya. Mengeluarkan rahasia terdalam yang selama ini dipendam. Mengeluarkan rasa marah, mengapa Ia bisa membunuh orang sebaik itu…
T.A.M.A.T.
Sementara Si Kaya, adalah pemilik toko kelontong. Memang hanya toko kelontong, tetapi entah mengapa barang-barangnya selalu laku. Mungkin karena kualitas barang yang ia jual. Kualitas nomor satu.
Suatu hari, saat Pembuat Roti sedang dalam perjalanan pulang dari menjual sebagian roti ke toko roti di kota, Pembuat Roti berpapasan dengan Si Kaya. Tanpa disengaja, Pembuat Roti menyenggol Si Kaya, sehingga semua barang yang dibawa Si Kaya untuk toko kelontongnya—kapur,penghapus papan tulis, beberapa kantong terigu, kapas, sedikit cereal, beberapa plastik mainan anak-anak, dan beberapa kantung kecil berisi aksesori wanita—berhamburan. Tentu saja Si Kaya marah melihat tepungnya tumpah, kapur-kapurnya patah, cereal yang ia bawa kini bercampur dengan debu. Barang-barang lainnya tergeletak begitu saja di tanah.
“Ma… Maafkan saya, Tuan Kaya…” kata Pembuat Roti dengan segera, sebelum dia terkena amarah Si Kaya bertubuh besar itu. Tapi usahanya meminta maaf segera sia-sia. “Kamu ini! Dasar miskin! Tak terhitung berapa kali kamu menabrak saya! Terlalu! Lihat, sekarang semua barang-barang saya hancur lebur. Gantikan!” bentak Si Kaya tanpa perasaan. “Maaf Tuan, mata saya memang sudah…” belum sempat Pembuat Roti menyelesaikan perkataannya, Si Kaya sudah melabrak lagi: “Matamu apa, hah???!!! Rabun?! Katarak?! Atau buta?!” umpat Si Kaya. Setelah itu Si Kaya segera pergi. “Rabun…” jawab Pembuat Roti lirih, setengah berbisik pada siapa saja yang mendengarkan.
Pembuat Roti tak mau terlalu memikirkan hal ini, Ia hanya akan berjanji akan lebih hati-hati. Terutama pada Si Kaya. Segera Ia bergegas pulang menuju rumahnya: toko roti yang berada dipinggir danau dibawah bukit nun jauh disana.
Tetapi lain halnya dengan Si Kaya. Ia masih marah, masih mengumpat kata-kata kasar tak jelas pada Pembuat Roti. Bahkan Ia pun memandang sinis pada toko roti Pembuat Roti. Tiba-tiba, akal bulus muncul dalam pikiran Si Kaya…
Saat Pembuat Roti sedang membersihkan sisa-sisa pembuatan roti di malam hari, Si Kaya mengendap-endap masuk kedalam halaman belakang rumah pembuat Roti, menunggu saat yang tepat.
“Hoaaammmm… Ahh, aku mengantuk. Sebaiknya sekarang aku tidur saja, agar besok dapat bekerja dengan baik…” kata Pembuat Roti akhirnya, saat melihat waktu sudah menunjukkan hampir pukul 23.30. Lalu Pembuat Roti pun masuk kedalam kamarnya…
Dengan segera Si Kaya memasuki tempat pembuatan roti. Si Kaya mulai menjalankan aksinya. Ia mengambil beberapa peralatan memasak, lalu mengambil dua karung tepung yang dia anggap sebagai ganti rugi. Si Kaya tertawa jahat, merasa puas. Si Kaya melakukan ini bukan karena barang-barang Pembuat Roti bagus dan dapat dijual sehingga menguntungkan Si Kaya, tentu saja bukan—Si Kaya memiliki segalanya—tetapi hanya untuk membuat Pembuat Roti menderita. Membuat Pembuat Roti merasakan bagaimana kehilangan barang-barang yang dapat menghasilkan uang. Si Kaya pun segera membawa pergi barang-barang hasil curiannya itu.
Esoknya, seluruh warga desa gempar. Sejak mereka mendengar teriakan histeris dari dalam toko roti, warga desa, dari anak balita hingga tetua di desa itu, sibuk mencari-cari barang. Mereka mencari-cari di dalam hutan, di bawah bangku, di kereta bayi, sampai didalam gua. Dan mereka masih belum menemukan apa-apa. “Kek, kasihan sekali ya, Paman Pembuat Roti,” kata seorang anak berusia 5 tahun. “Iya. Kalau hampir semua barangnya hilang, bagaimana mau membuat roti… Barusan saja dia sampai teriak histeris begitu. Siapa yang tega mencuri barang-barang Pembuat Roti?”jawab Kakek itu. Mereka pun melanjutkan perjalanan mencari barang-barang milik Pembuat Roti.
Si Kaya mulai waspada. Ia takut kalau-kalau salah seorang warga menemukan barang Pembuat Roti di rumahnya. Kemarin Ia memang tidak berpikir panjang. Sekarang apa yang akan Ia lakukan? Berpura-pura menjadi pahlawan dengan berpura-pura menemukan barang-barang Pembuat Roti yang tiba-tiba ada didalam rumahnya? Si Kaya melihat lagi piagam yang terpajang pada dinding rumahnya. “JUARA PERTAMA LOMBA DESA TERCERDAS, DESA KREATIF, DAN DESA SEJAHTERA”Desa itu tidak bisa dibohongi, semua warga disana pintar. Buktinya saja piagam tadi.
“Apa maksudmu mencuri, hah?! Kau punya segalanya, Kaya. Kenapa kau masih tega mencuri dari manusia baik hati seperti Pembuat Roti?! Dasar tidak tahu diuntung!!!” bentak Kepala Desa pada Si Kaya. Si Kaya tak diberi kesempatan untuk berbicara lagi. Yang Ia lakukan sekarang hanya pasrah pada keadaan. Tiba-tiba dari kejauhan terlihat Pembuat Roti menangis sembari duduk dibawah pohon. Pembuat Roti menangis lebih kencang ketika Si Kaya mendekati Pembuat Roti.
“Tahu tidak, bodoh?!” umpat Kepala Desa pada Si Kaya. “A… A… Apa?””Saat saya dan warga melaporkan pada Pembuat Roti kalau kamu yang mencuri, Pembuat Roti menjadi kaget! Lalu…”Kini Kepala Desa terisak-isak. “Lalu apa, Pak Kepala?”tanya Si Kaya. “Lalu… Pembuat Roti menjadi stress, dan akhirnya sekarat, dan… Dan… Dan…” Kepala Desa berhenti lagi. “Pembuat Roti… Me… Me… Meninggal…” lanjut Kepala Desa.
“Apa???!!! Tidak mungkin! Tidak mungkin ini terjadi! Tidak mungkin orang se… Se… Sebaik itu… Meninggal!!! Dia adalah orang terbaik dan tersabar yang pernah aku kenal! Aku menyesal, Pak… Aku menyesal…”Si Kaya mencurahkan semua isi hatinya. Mengeluarkan rahasia terdalam yang selama ini dipendam. Mengeluarkan rasa marah, mengapa Ia bisa membunuh orang sebaik itu…
T.A.M.A.T.
1 komentar:
Kenapa tidak lanjutin blognya sobat?
Posting Komentar