Kamis, 14 Mei 2009

Pembuat Roti dan Si Kaya

Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang Pembuat Roti dan seorang tetangganya, bernama Si Kaya. Kehidupan Pembuat Roti dan Si Kaya amatlah berbeda. Pembuat Roti hidupnya sangat sederhana. Dia harus bekerja setiap hari mulai dari pagi hingga larut malam. Pekerjaannya membuat roti. Dan jika ia tak bekerja, tak ada uang di kantungnya. Sepeser pun. Tapi, Pembuat Roti sangat ramah. Dia mau menolong siapa saja. Kalau dia sedang banyak uang, orang yang sama miskinnya dengan dia saja, dia tolong. Karena kebaikannya itu, dia disayang seluruh warga di desa tempat mereka tinggal. Roti buatannya juga lezat. Ada rasa blueberry, raspberry, strawberry, lalu ada juga rasa ayam, sapi, dan rasa peterseli juga ada. Makanya seluruh warga desa menyukai rotinya.
Sementara Si Kaya, adalah pemilik toko kelontong. Memang hanya toko kelontong, tetapi entah mengapa barang-barangnya selalu laku. Mungkin karena kualitas barang yang ia jual. Kualitas nomor satu.
Suatu hari, saat Pembuat Roti sedang dalam perjalanan pulang dari menjual sebagian roti ke toko roti di kota, Pembuat Roti berpapasan dengan Si Kaya. Tanpa disengaja, Pembuat Roti menyenggol Si Kaya, sehingga semua barang yang dibawa Si Kaya untuk toko kelontongnya—kapur,penghapus papan tulis, beberapa kantong terigu, kapas, sedikit cereal, beberapa plastik mainan anak-anak, dan beberapa kantung kecil berisi aksesori wanita—berhamburan. Tentu saja Si Kaya marah melihat tepungnya tumpah, kapur-kapurnya patah, cereal yang ia bawa kini bercampur dengan debu. Barang-barang lainnya tergeletak begitu saja di tanah.
“Ma… Maafkan saya, Tuan Kaya…” kata Pembuat Roti dengan segera, sebelum dia terkena amarah Si Kaya bertubuh besar itu. Tapi usahanya meminta maaf segera sia-sia. “Kamu ini! Dasar miskin! Tak terhitung berapa kali kamu menabrak saya! Terlalu! Lihat, sekarang semua barang-barang saya hancur lebur. Gantikan!” bentak Si Kaya tanpa perasaan. “Maaf Tuan, mata saya memang sudah…” belum sempat Pembuat Roti menyelesaikan perkataannya, Si Kaya sudah melabrak lagi: “Matamu apa, hah???!!! Rabun?! Katarak?! Atau buta?!” umpat Si Kaya. Setelah itu Si Kaya segera pergi. “Rabun…” jawab Pembuat Roti lirih, setengah berbisik pada siapa saja yang mendengarkan.
Pembuat Roti tak mau terlalu memikirkan hal ini, Ia hanya akan berjanji akan lebih hati-hati. Terutama pada Si Kaya. Segera Ia bergegas pulang menuju rumahnya: toko roti yang berada dipinggir danau dibawah bukit nun jauh disana.
Tetapi lain halnya dengan Si Kaya. Ia masih marah, masih mengumpat kata-kata kasar tak jelas pada Pembuat Roti. Bahkan Ia pun memandang sinis pada toko roti Pembuat Roti. Tiba-tiba, akal bulus muncul dalam pikiran Si Kaya…
Saat Pembuat Roti sedang membersihkan sisa-sisa pembuatan roti di malam hari, Si Kaya mengendap-endap masuk kedalam halaman belakang rumah pembuat Roti, menunggu saat yang tepat.
“Hoaaammmm… Ahh, aku mengantuk. Sebaiknya sekarang aku tidur saja, agar besok dapat bekerja dengan baik…” kata Pembuat Roti akhirnya, saat melihat waktu sudah menunjukkan hampir pukul 23.30. Lalu Pembuat Roti pun masuk kedalam kamarnya…
Dengan segera Si Kaya memasuki tempat pembuatan roti. Si Kaya mulai menjalankan aksinya. Ia mengambil beberapa peralatan memasak, lalu mengambil dua karung tepung yang dia anggap sebagai ganti rugi. Si Kaya tertawa jahat, merasa puas. Si Kaya melakukan ini bukan karena barang-barang Pembuat Roti bagus dan dapat dijual sehingga menguntungkan Si Kaya, tentu saja bukan—Si Kaya memiliki segalanya—tetapi hanya untuk membuat Pembuat Roti menderita. Membuat Pembuat Roti merasakan bagaimana kehilangan barang-barang yang dapat menghasilkan uang. Si Kaya pun segera membawa pergi barang-barang hasil curiannya itu.
Esoknya, seluruh warga desa gempar. Sejak mereka mendengar teriakan histeris dari dalam toko roti, warga desa, dari anak balita hingga tetua di desa itu, sibuk mencari-cari barang. Mereka mencari-cari di dalam hutan, di bawah bangku, di kereta bayi, sampai didalam gua. Dan mereka masih belum menemukan apa-apa. “Kek, kasihan sekali ya, Paman Pembuat Roti,” kata seorang anak berusia 5 tahun. “Iya. Kalau hampir semua barangnya hilang, bagaimana mau membuat roti… Barusan saja dia sampai teriak histeris begitu. Siapa yang tega mencuri barang-barang Pembuat Roti?”jawab Kakek itu. Mereka pun melanjutkan perjalanan mencari barang-barang milik Pembuat Roti.
Si Kaya mulai waspada. Ia takut kalau-kalau salah seorang warga menemukan barang Pembuat Roti di rumahnya. Kemarin Ia memang tidak berpikir panjang. Sekarang apa yang akan Ia lakukan? Berpura-pura menjadi pahlawan dengan berpura-pura menemukan barang-barang Pembuat Roti yang tiba-tiba ada didalam rumahnya? Si Kaya melihat lagi piagam yang terpajang pada dinding rumahnya. “JUARA PERTAMA LOMBA DESA TERCERDAS, DESA KREATIF, DAN DESA SEJAHTERA”Desa itu tidak bisa dibohongi, semua warga disana pintar. Buktinya saja piagam tadi.
“Apa maksudmu mencuri, hah?! Kau punya segalanya, Kaya. Kenapa kau masih tega mencuri dari manusia baik hati seperti Pembuat Roti?! Dasar tidak tahu diuntung!!!” bentak Kepala Desa pada Si Kaya. Si Kaya tak diberi kesempatan untuk berbicara lagi. Yang Ia lakukan sekarang hanya pasrah pada keadaan. Tiba-tiba dari kejauhan terlihat Pembuat Roti menangis sembari duduk dibawah pohon. Pembuat Roti menangis lebih kencang ketika Si Kaya mendekati Pembuat Roti.
“Tahu tidak, bodoh?!” umpat Kepala Desa pada Si Kaya. “A… A… Apa?””Saat saya dan warga melaporkan pada Pembuat Roti kalau kamu yang mencuri, Pembuat Roti menjadi kaget! Lalu…”Kini Kepala Desa terisak-isak. “Lalu apa, Pak Kepala?”tanya Si Kaya. “Lalu… Pembuat Roti menjadi stress, dan akhirnya sekarat, dan… Dan… Dan…” Kepala Desa berhenti lagi. “Pembuat Roti… Me… Me… Meninggal…” lanjut Kepala Desa.
“Apa???!!! Tidak mungkin! Tidak mungkin ini terjadi! Tidak mungkin orang se… Se… Sebaik itu… Meninggal!!! Dia adalah orang terbaik dan tersabar yang pernah aku kenal! Aku menyesal, Pak… Aku menyesal…”Si Kaya mencurahkan semua isi hatinya. Mengeluarkan rahasia terdalam yang selama ini dipendam. Mengeluarkan rasa marah, mengapa Ia bisa membunuh orang sebaik itu…
T.A.M.A.T.

Rabu, 06 Mei 2009

Mei Hwa dan Warung Bakmie-nya

Mei Hwa adalah seorang anak remaja keturunan cina. Parasnya ayu. Siapapun, baik itu guru, teman-teman, orangtua, maupun orang tak dikenal, akan kagum padanya. Tetapi sayang, dibalik itu semua, dia adalah anak yang sombong.

Suatu hari, saat Mei Hwa datang ke sekolahnya, SMU Tunas Negeri, Ia datang dengan mengenakan seuntai kalung. Kalung itu sangat elok. Warnanya abu-abu, cocok dengan seragam putih abu-abunya. Agaknya, kalung itu terbuat dari batu yang ringan, atau sudah dibuat ringan. Mei Hwa berjalan layaknya model, berlenggak-lenggok kesana-kemari. Sambil berlenggak-lenggok ia berkata, “Hei Kawan, lihatlah kalung baruku ini. Indah bukan? Kalung ini baru dibeli Ayahku kemarin, asli dari Negara Cina”. Teman-temannya, seperti Lyla, Venna, Linda, Miranda, sudah biasa melihat gaya temannya itu. Jika Mei Hwa sudah mulai sombong, mereka hanya dapat mengacuhkannya.

“Hei??? Apa kalian mendengarku? Apa kalian mengacuhkanku?! Ayolah, aku sedang berbicara pada kalian!” teriak Mei Hwa dengan penuh emosi. “Wah, benarkah? Kalau begitu, aku ingin pergi ke rumahmu, melihat semua koleksi dari Negara Cina yang dibeli ayahmu itu. Bagaimana, boleh kan?” jawab Lyla akhirnya, sambil membetulkan kerudungnya. “Tidak!!! Jangan! Dirumahku sedang ada banyak tamu, dan rumahku akan terlalu sempit jika kalian datang, maka rumahku tidak akan enak lagi untuk ditempati. Tak apa kan?” elak Mei Hwa. Ia pun pergi dengan wajah tertunduk.

Sebenarnya, Mei Hwa tidak sesempurna yang barusan aku katakan diatas. Selain sifatnya yang sombong, Mei Hwa juga anak yang aneh. Ia tidak pernah mau jika rumahnya dikunjungi teman-teman sekolahnya. Hingga saat ini, tak ada yang tahu mengapa. Maka, jika temannya berbicara yang ada sangkut-pautnya dengan rumahnya, Ia takkan menjawab. Dan seperti yang Dia lakukan barusan, pergi dengan wajah tertunduk.

Sore itu adalah sore yang cerah bagi semua orang. Bagi beberapa orang, itu hari yang menyenangkan untuk berjalan-jalan. Dan itulah yang dilakukan Linda.
Linda berjalan melewati sebuah warung bakmie yang terkenal enak di daerah itu. Katanya, bakmie yang lezat itu dibuat oleh seorang anak SMU, usia yang relatif muda untuk pembuat bakmie terkenal.

Sambil berjalan, Linda sedikit menengok ke dalam warung, untuk mengetahui isi dari warung legendaris itu. Didalam warung, dilihatnya dua orang gadis – satu gadis berusia sebaya dan satu lagi agak lebih tua– yang sedang kerepotan melayani pembeli. Gadis yang berusia sebaya dengan Linda itu sedang memasak bakmie, dan rambutnya yang panjang membuat mukanya tertutupi. Sedangkan gadis yang usianya lebih tua dari Linda sedang mencatat pesanan para pembeli. Gadis yang lebih tua itu berponi pendek, jadi mukanya cukup terlihat dari luar. Wajah gadis berponi pendek itu cantik sekali, dan wajahnya sama persis dengan wajah… Mmm… Siapa, ya? Linda berpikir keras. Ia berusaha mengingat-ingat wajah itu. Itu… Mmm… Kak Ming Ming! Iya, tepat sekali! Itu wajah Kak Ming Ming, kakak dari Mei Hwa! Tetapi, Linda masih ragu. Ia pun pergi dengan linglung.

Suatu hari, Linda mengajak Venna, Lyla, dan Miranda makan di warung bakmie terkenal itu. Ia tidak mengajak Mei Hwa karena Mei Hwa buru-buru pulang ke rumahnya setelah Mei Hwa mendapat telepon dari ayahnya–sepertinya sangat gawat– lalu Mei Hwa langsung pamit pada semua temannya. Dan pada saat itu, Linda sudah lupa pada kejadian tentang Kak Ming Ming….
Akhirnya, mereka berempat sampai di warung bakmie. Karena sudah lapar, mereka langsung memesan bakmie pada seorang gadis berponi pendek.
Saat melihat gadis berponi pendek itu, Linda seperti mengalami déjà vu. Ia tiba-tiba yakin, gadis itu adalah Kak Ming Ming. Suaranya, tatapannya (meskipun menunduk kebawah karena sedang menulis), gaya berpakaiannya… Tetapi, pertanyaan utamanya, jika ada Kak Ming Ming, dimana Mei Hwa?

Linda tak sempat bertanya pada gadis itu, siapa namanya. Karena gadis itu sudah melangkah menuju bagian dalam warung itu – rumahnya, mungkin – yang ditutupi tirai plastik berwarna merah. Linda sempat melirik ketiga temannya, tampaknya mereka tak acuh pada gadis tadi.
Seorang gadis lainnya, yang saat itu dilihat Linda dalam keadaan wajah tertutupi poninya yang agak panjang, datang dengan tampilan seperti itu lagi. Sepertinya, dialah gadis SMU yang disebut-sebut sebagai pencipta bakmie lezat ini.
“Hei, teman-teman! Menurutmu, apakah itu Mei Hwa, yang sedang memasak bakmie?”
“Jangan bodoh, Linda. Mei Hwa orang kaya, tak mungkin Ia memasak bakmie di warung seperti ini. Minimal Ia memasak di hotel. Berpikirlah dengan sedikit logika”
“ Tapi Miranda, gayanya seperti Mei Hwa. Lagipula, gadis yang mencatat pesanan kita tadi sepertinya Kak Ming Ming”
Kini keempat anak remaja itu memperhatikan kedua gadis yang sedang memasak dan mencatat dengan serius. Tampaknya, Venna, Lyla, dan terutama Miranda sudah mulai mempercayai kata-kata Linda.
“Sepertinya benar apa katamu, Linda. Tetapi, kita masih harus membuktikan benar atau tidaknya. Kalau salah, kita juga kan yang malu” kata Lyla.
“Ya sudah, aku saja yang akan membuktikan” jawab Venna.
Keempat remaja itu terdiam dalam hati, mereka menghitung. Satu… Dua… Tiga…
“Mei Hwa?” Tanya Venna pada gadis yang sedang memasak itu.
Sepertinya, gadis itu agak terkejut , tetapi Ia menjawab, “Ya? Ada ap..apa?” jawabnya, dengan sedikit gugup.
“ Apa kamu bersekolah di SMU Tunas Negeri?”
“I…Iya”. Gadis itu berhenti memasak.
“Mempunyai kakak bernama Ming Ming?”
“I… Iya. Ken... Kenapa kamu bisa tahu?”
“Mempunyai teman bernama Venna, Lyla, Miranda, dan Linda?”
“Kutanya mengapa kau bisa tahu! Jawab! Bukan balik bertanya!” Gadis itu sepertinya cukup kaget.
“ Apa kamu tidak pernah mau rumahmu dikunjungi teman-teman sekolahmu?” Venna mulai menyerang.
Gadis itu pasrah. Sepertinya Ia menangis. Ia pun membalikkan tubuhnya, dan menyibakkan poni yang sepertinya membuat Ia jengkel juga.

“Mei Hwa???” Teriak Venna, Linda, Miranda, dan Lyla serempak.
Gadis itu–yang sebenarnya Mei Hwa–menangis. Bukan menangis meraung-raung seperti di opera sabun, tetapi menangis dalam diam, dengan tatapan pasrah dan bersalah. Semua yang hadir di warung menyaksikan pertunjukkan dramatis itu.
“Ya, ini aku, Mei Hwa yang sebenarnya. Mei Hwa yang miskin, yang hanya bekerja sebagai pembuat bakmie. Mei Hwa yang bodoh, yang tak mampu membeli sepeser pun barang berharga. Kalung batu dan lainnya, pinjaman dari tetangga. Terserah kalian, mau memperlakukanku seperti apa setelah ini. Mau mengacuhkanku, silahkan. Mau memusuhiku, boleh saja. Mau mengejekku, tak ada yang melarang” kata Mei Hwa, dengan air mata yang bercucuran makin deras.
Kini keempat remaja itu mengerti, apa yang telah terjadi selama ini. Mereka tiba-tiba tidak marah pada Mei Hwa, tetapi merasa iba. Mereka justru merasa bersalah sudah memusuhi Mei Hwa. Mereka serasa ingin merangkul dan rela melakukan apa saja, asal Mei Hwa mau memaafkan mereka.
Tiba-tiba, Venna melakukan sesuatu yang–mungkin semua yang menonton, bukan hanya Lyla, Miranda, Linda, dan Mei Hwa– tak diduga.

“Baiklah Mei Hwa. Kau membuat kami merasa bersalah. Sudahlah, lupakan saja masalah ini. Aku mungkin marah padamu, tetapi aku sadar, kita semua yang salah” kata Venna bijak, dan ini adalah peristiwa langka, jarang terjadi.
“Ya Mei Hwa, mungkin kau salah, tetapi kami juga salah. Harusnya kami bertanya dulu padamu, atau menyadarkanmu. Dengan begitu takkan ada kericuhan seperti ini…” Lyla menimpali.
Akhirnya, Mei Hwa berhenti menangis. Pelan-pelan Ia mengusap air matanya dengan sapu tangan berwarna ungu yang terbuat dari kain flannel.
Tiba-tiba Miranda berkata, “Hei Mei Hwa!!! Aku pesan lima mangkuk bakmie ya! Dan jangan pakai lama.”. Tentu saja, semua orang tersentak mendengar perkataan Miranda, tetapi tidak ada yang berkomentar.
Mei Hwa datang dengan lima mangkuk bakmie. Mmm… sepertinya lezat! “Teman-teman, ini bakmie-nya. Lho, satu mangkuk lagi untuk siapa?” Tanya Mei Hwa heran.
“Tentu saja untukmu, Mei Hwa! Untuk siapa lagi,coba? Ini sebagai ucapan maaf dari kami…” jawab Miranda.
Mei Hwa terharu sekali. Ia pun menitikkan air mata, sekali lagi. “Ayo, duduk disini bersama kami. Kita makan bersama. Lagipula semua pelanggan sudah terlayani, kan?” ajak Linda.

Akhirnya, setelah makan-makan selesai, setelah mereka bermaafan dan berjanji takkan saling menyakiti hati, keempat gadis itu pun pulang. Sebelum pulang, Mei Hwa memberikan sesuatu untuk mereka.
“Ucapan maafku,” kata Mei Hwa lirih.

Mereka membuka kain yang menutupi barang itu. Empat buah cincin persahabatan! Cincin itu indah sekali, berwarna perak berkilau, sepintas terlihat seperti cincin kawin, tetapi di bawah cincin itu, kecil sekali, tertulis dengan spidol permanen:
MLLVM ( Mei Hwa, Lyla,Linda, Venna, Miranda)

Asal Mula Reog Ponorogo

Pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang putri cantik yang bernama Dewi Sanggalangit. Dewi Sanggalangit tinggal di sebuah kerajaan yang terkenal di Kediri.
Saat putri beranjak dewasa, kecantikannya bertambah. Sampai-sampai, banyak raja dan pangeran dari negeri seberang yang ingin menikahinya. Banyak sekali lamaran dari raja-raja itu, tapi putri juga banyak sekali menolak lamaran itu.

Orangtua putri, yaitu Raja dan Ratu, sampai dibuat pusing oleh putri keras kepala itu. Akhirnya, mereka memutuskan untuk berunding dengan putri. Setelah putri duduk disamping mereka, mereka pun memulai perundingan. “Nak, kenapa kamu tidak mau menikahi raja-raja itu? Mereka itu gagah, hebat” tanya Ratu. Putri sudah menduga orangtuanya akan bertanya seperti itu. “ Sebenarnya aku punya syarat untuk mereka. Mereka, raja-raja itu, harus membuat sebuah pertunjukkan tari-tarian, tetapi di pertunjukkan itu harus ada binatang berkepala dua dan 140 kuda kembar”. Mau bagaimana lagi, Ratu dan Raja pun menyanggupi permintaan putri semata wayangnya.

Akhirnya, syarat itu sampai ke telinga para raja yang mau melamar. Meskipun mereka sangat ingin menikahi sang putri, tetapi mereka tak sanggup memenuhi syarat itu.
Setelah semua raja-raja itu menyerah (dan mungkin menikah dengan orang lain), hanya dua orang raja yang merasa sanggup menjalankan syarat itu. Raja pertama bernama Klanaswandana dari kerajaan Bandar Angin, dan raja kedua bernama Singa Barong dari kerajaan Lodaya. Klanaswandana adalah seorang yang tampan, baik hati, gagah, adil, dan pintar. Sementara Singa Barong (mungkin sudah kalian duga) mempunyai sifat yang galak, curang, licik, pokoknya semua kejahatan tersimpan dalam diri raja keji itu.Dan anehnya, kepala Singa Barong berbentuk harimau yang dipenuhi kutu. Maka dari itu ia memelihara burung merak untuk mematuki kutu-kutu yang bersemayam di kepala harimaunya.

Sebelum hari H, Klanaswandana gencar mencari binatang berkepala dua. Seperti yang kalian tahu, Singa Barong pasti bermalas-malasan. Dan itu benar. Raja aneh itu bukannya gencar mencari binatang kepala dua, tetapi justru menyusun taktik agar dapat mengambil binatang kepala dua seandainya Klanaswandana menangkap binatang itu. Jadi sebenarnya, jika Klanaswandana gagal menangkap binatang kepala dua, Singa Barong juga terkena getahnya.
Tak disangka, ternyata akal bulus Singa Barong sampai ke telinga Klanaswandana. Tentu saja Klanaswandana tak tinggal diam. Ia berencana menyerang kerajaan Lodaya, kerajaan yang dipimpin Singa Barong. Dan karena Klanaswandana raja yang adil, maka seluruh rakyat bersedia membantu Klanaswandana.

Ada peraturan di kerajaan Lodaya yang tidak lazim. Peraturannya begini: Barangsiapa yang mengganggu Singa Barong jika sedang dibersihkan kepalanya dari kutu oleh burung merak, maka akan dihukum mati. Tentu saja semua penghuni istana berikut rakyat-rakyatnya tidak mau melanggar peraturan ini.

Ketika Klanaswandana hendak menyerang bagian dalam istana, ternyata Singa Barong sedang dibersihkan kepalanya dari kutu oleh burung merak peliharaannya. Para pengawal pun tidak berani memberitahukan ke Singa Barong bahwa pasukan kerajaan Bandar Angin yang akan menyerang istana berjarak beberapa meter dari sini, karena mereka takut dihukum mati. Maka pasukan Bandar Angin pun dengan mudahnya masuk kedalam istana.
Saat Klanaswandana beserta pasukannya sudah berdiri tepat didepan wajah Singa Barong, Singa Barong tertegun saking kagetnya. Dan gawatnya, sudah tak ada waktu untuk mempersiapkan pasukan Lodaya. Lagipula, siapa yang mau membantu raja keji dan tak punya hati seperti Singa Barong.

Perang pun tak dapat dihindari. Sementara pasukan Bandar Angin sibuk mengacak-acak dan menghancurkan seluruh isi istana Lodaya, Klanaswandana dan Singa Barong berperang sendirian di halaman istana. Singa Barong berperang tidak menggunakan pedang, tetapi menggunakan ilmu sakti yang dimilikinya. Perang berlangsung menegangkan. Apalagi saat Klanaswandana sudah mulai menggunakan ilmu saktinya.
Karena persiapan yang kurang dan kurangnya ketelitian Singa Barong, akhirnya Singa Barong pun mati dibunuh Klanaswandana. Dan yang ajaib, kepala harimau Singa Barong menyatu dengan kepala burung merak yang terus-menerus mematuki kepalanya! Jadilah Singa Barong binatang berkepala dua.

Akhirnya, Klanaswandana pun membawa mayat Singa Barong yang telah menjadi hewan berkepala dua sebagai persembahan kepada Dewi Sanggalangit dan tak lupa mempersiapkan 140 pasang kuda kembar yang dibantu oleh para rakyat yang memelihara kuda.

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Iring-iringan 140 pasang kuda kembar pun menambah keramaian. Apalagi saat datangnya Singa Barong yang entah kenapa bisa hidup kembali lalu menari-nari layaknya orang yang kesurupan. Karena syarat yang diajukan sang putri sudah terpenuhi seluruhnya, akhirnya Klanaswandana mempersunting Dewi Sanggalangit. Lalu Dewi Sanggalangit dibawa ke Kerajaan Bandar Angin, yang tak lama nama daerah itu diubah menjadi Ponorogo. Itulah asal mula Reog Ponorogo.
(diceritakan kembali oleh Sarah Fauziyyah Hana)

TAMAT