Rabu, 25 Februari 2009

Oh Kiara Payung…



Waktu itu hari Selasa. Beda dengan hari lainnya, aku datang jauh lebih awal. Teman-temanku pun begitu. Karena kami akan berkemah di Kiara Payung, Jatinangor, Sumedang.


Awalnya, aku berpikir kalau berkemah kali ini akan mengerikan. Aku pikir, aku akan berkemah di hutan yang sangat mengerikan (memang sih, tapi hutannya tidak terlalu lebat). Ditambah lagi dengan cerita dari guru agamaku, Pak Syahril, tentang pembunuhan di daerah Kiara Payung. Aku makin takut mendengarnya.


Banyak sekali rintangan berhari-hari sebelum hari H (tanggal 12 Agustus). Diantaranya, kecemburuan teman-temanku. Mereka cemburu karena mereka tak terpilih untuk mengikuti perkemahan. Ya, kata pembinaku, hanya beberapa anak terpilih untuk mengikuti kegiatan dalam rangka HUT Pramuka atau ulang tahun diriku (cieee…………).


Sekarang, aku akan menceritakan tentang kecemburuan teman-temanku. Mereka seakan-akan membenci kami yang ikut kemah, dan bersekongkol kepada yang senasib. Kami jadi serbasalah. Mau menceritakan kebahagiaan karena terpilih saja, dianggapnya sombong. Aku, Dina, Ulva, dan Elita sudah meyakinkan kalau ini semua bukan karena Pak Aat (Pembina kami) pilih kasih. Toh, untuk apa sih marah-marah tak jelas seperti itu. Memangnya mereka takkan terpilih untuk selama-lamanya? Tunggu saja tahun depan! Seperti tidak ada hari esok saja!!! Mereka selalu menyalah-artikan setiap kata dari mulut kami. Kami, yang ikut berkemah, bingung mau melakukan apa. Mau berbicara tentang kebahagiaan terpilih ikut kemah, marah. Mereka anggap itu sombong. Oh Kiara Payung…


Sudahlah… lupakan saja. Lupakan saja semua masalah bodoh itu. Aku harus berkonsentrasi pada barang-barang yang akan dibawa nanti. Dan untungnya, aku tidak kebagian membawa sesuatu untuk perlengkapan regu. Karena barang pribadi saja sudah 21 jenis barang. Itu jenisnya. Tapi satu jenis, bisa beberapa buah. Contohnya, mie kuah satu jenis makanan. Tapi, kita harus membawa 8 bungkus mie!!! Kami juga harus membawa telur 1 lusin. Belum barang-barang yang penting sekali, seperti sikat gigi, Biore untuk cuci muka, bedak, parfum, sisir (Centil yaaa???)… Kita juga harus bawa seragam olahraga karena akan senam pagi. Belum jaket yang tebalnya minta ampun sampai susah dilipat. Itupun jaketnya kekecilan karena milik adikku.Kita juga harus membawa beras, gula merah, dan kacang hijau. Tapi, kami dapat hal-hal istimewa dari barang bawaan kami. Gula merah dan kacang hijau itu, dibuat bubur kacang hijau. Selain kami diperbolehkan membantu membuat bubur kacang, kami juga boleh memakan gula merahnya! Yang cair lagi! Wah, selama sore dihari kesatu, kami pesta gula merah. Kami jadi seperti kuda. Fiuuhh, itulah Kawan, itulah mengapa aku membuat judul ‘Oh Kiara Payung…’
Kiara Payung, seperti dunia ekspresi.Ada senang, sedih, marah, takut, tersipu-sipu pun ada. Ada juga kesalnya. Saat kami api unggun, kami sudah siap-siap mau tampil. Eeeh… ternyata, malah anak cowok yang tampil! Sudahlah, malas membahasnya!


Kawan, ini bagian paling mengesankan saat di KirPay (Kiara Payung). Kalau sedang memikirkannya, aku tak mau sendirian. Berikut ceritanya……


Aku, Dina,dan beberapa teman lain sedang menuju tempat anak lelaki. Lalu, teman sekelasku, tiba-tiba menyorotkan senternya padaku dan menjahiliku. Tentu, aku berusaha menjauhi anak-anak kurang kerjaan itu. Karena gelap, aku menubruk segerombolan anak lelaki dari SD lain. Mereka membelalak padaku. Tentu saja, yang menyebabkan semua itu anak-anak kurang kerjaan.


Kami jadi malas ke tempat lelaki. Setelah selesai dengan urusan, aku dan teman-teman kembali ke kemah kami, dengan cepat tentunya. Sampai di kemah kami, aku dan teman-teman yang ikut dijahili menyusun rencana untuk membalas kelakuan mereka. Ini rencana kami:


- Memata-matai mereka dari balik rerumputan
- Mendengar semua pembicaraan mereka
- Mulai menyusun strategi
- Menyerang diam-diam sampai mereka terpengaruh
- Langsung menyerang dari belakang


Mendengar rencana kami, teman-teman yang tidak dijahili ingin ikut juga. Mungkin mereka kasihan pada kami.


Kami sampai di rerumputan yang telah ditentukan. Samar-samar terdengar suara tawa guru-guru dan anak-anak. Kami makin berang. Mereka selalu, tidak punya rasa bersalah. Kami mulai menyerang diam-diam. Tapi, Dina berkata “Duuh… Lama ya? Aku ingin ke air nih. Sekaligus meluruskan kaki. Dilanjutkan nanti saja ya?”. Permohonan itu didukung Hanum, “Iya. Agak lelah juga. Terus gelap, dingin… Aku juga sama, mau ke air”. Memang iya sih, bagaimana tidak? Ini kan gunung, dan dimana ada listrik? Biarlah, urusan balas dendam itu kapan-kapan saja.
Inilah inti semua cerita tadi. Tuh kaan… Aku merinding lagi. Di depan kamar mandi, ada lubang bentuknya bujur sangkar. Sebenarnya, ada dua jalan menuju kamar mandi. Satu melewati saluran air yang cukup sukar dilewati, satu lagi melewati lubang bujur sangkar itu. Karena yang termudah melewati lubang, ya sudah setiap hari kami lewat lubang. Awalnya sih aku merasa seperti ada yang mengawasi kami disamping pohon besar. Nah, saat Dina melangkahi lubangi itu, tiba-tiba Dina menjerit, “Aaaaa…!!!” Kami semua kaget. “Kenapa, Din?” Tanya Keke penasaran. Dina justru melihatku, yang tepat dibelakangnya. “Apa?” tanyaku. “Kamu apakan kakiku? Sakit, tahu!” “Apa sih?”. Memang iya, aku diam saja dari tadi. Tahu-tahu Dina sudah berteriak kencang.


“Ada apa Teh Dina?” Tanya Zaelda, adik kelasku. “Rasanya ada yang mencengkram kakiku saat melangkahi lubang tadi… Sakit sekali. Seperti dicengkram kuku-kuku tajam…” jawab Dina. Mukanya pucat. Kami semua terdiam. Dunia serasa hening, padahal manusia-manusia berlalu-lalang di sekitar kami. “Astagfirullah… Jangan-jangan…” kataku memecah keheningan. Aku yakin, yakin sekali, kalau mereka mengingat cerita Pak Syahril soal pembunuhan di daerah KirPay. Kabarnya hantunya gentayangan. Otomatis, kami semua berlari ke arah kamar mandi. Sampai di kamar mandi yang terang, Dina buru-buru melihat keadaan kakinya. Kami semua ikut memperhatikan. Kaki Dina kotor. Kotor sekali. Penuh lumpur. Dan memang, kaki Dina agak sedikit merah, dan lukanya itu agak sedikit panjang. Kami makin pucat. Segera kami pulang ke tenda dan menceritakan kejadian tadi pada teman-teman…


Sejak detik itu, tak ada yang berani lubang itu. Kami masih teringat kejadian mengerikan. Jujur, aku tak memegang kaki Dina. Kukuku juga pendek. Dan tak ada ranting-ranting yang dapat menyebabkan luka.


Sudah malam. Kami sudah tenang dengan kejadian barusan. Entah kenapa, tiba-tiba aku menjadi sangat mengantuk. Padahal saat kemping sebelumnya, Aku selalu tidur paling akhir. Dan sekarang, pukul 23.30 saja aku sudah mengantuk. Karena tak tahan, aku pun tertidur……
Kriiingg…kriiingg… Suara dering handphone itu membangunkanku. Aku terkejut. Aku melihat teman-temanku juga mulai terbangun. Ahh, aku tak peduli pada suara itu. Aku pun tidur kembali……


“Sar… Sarah… Bangun Sar!” kata Hanum. “Apa?!” kataku, agak sedikit sebal. “Itu suara handphone siapa, Sar?” Tanya Dina. “Ya enggak tahu!” jawabku agak sedikit marah. Aku melihat sedikit ke luar tenda, kira-kira pukul 03.00 subuh. Lalu saat aku hampir terlelap, aku mendengar suara was…wes…wos… yang membangunkanku lagi. Tiba-tiba…


“Happy Birthday Saraaaah!!!!” kata Dina dan Hanum. Oh ya!!! Ini 14 Agustus! Ulang tahunku! “Duh, makasih banget ya! Aku lupa!” kataku bodoh. Baru pertama kali aku lupa ulang tahunku. Teriakan Happy Birthday itu membangunkan teman-teman yang lain. “Eh, ada apa?” Tanya Taqia. “Eh, Sarah ultah ya? Happy Birthday!” kata Keke. Lalu kata Zaelda, “Selamat ya Teh…!”. Rifka, kelas 4B, adik kelasku, berkata “Sarah ultah? Waah, selamat!”. Aku senang, semua memberi selamat. Lalu, teman-teman perempuan dari tenda yang lebih kecil di sebelah, datang dan memberi selamat untukku. Asyiiikk!!!


Kebahagiaan itu segera selesai, karena kami akan bersiap-siap mengadakan upacara hari ultahku…(BOHONG!!! HARI PRAMUKA!!!). Bukannya upacara di pagi hari yang sejuk, kita justru upacara saat tengah hari, panas terik lagi. Mendadak, aku lupa lagi pada hari ultahku. Aku hanya memikirkan bagaimana agar aku tidak pingsan. Keadaan saat itu sangat tidak mendukung. Pertama, itu siang bolong. Kedua, panaaasss sekali saat itu. Ketiga, saat hari pertama di Kiara Payung pun, aku sudah terserang pilek. Karena sudah tak tahan, aku pun menuju tenda di belakang barisan. Sampai di tenda, pusingku agak sedikit berkurang…
“Kak…” kataku sembari menarik baju Kakak Pembina yang ada di tenda. “Iya?” katanya, tak lupa dengan senyum ramahnya. “Boleh saya kembali ke tenda?” “Oh ya! Kalau sudah sehat boleh ke tenda masing-masing, kamu sudah sehat?” “Ya Kak. Makasih” jawabku seraya berjalan sempoyongan ke tenda.


Sampai di area perkemahan, aku melihat semua guru dan teman-teman ada di tenda anak lelaki. Fiuuhh, Alhamdullilah, kalau tidak aku harus berjalan lagi ke atas. Setelah aku disana, ternyata kami akan ke tenda perempuan karena seluruh barang-barang ada disana…
Maaf, maaf sekali meninggalkanmu dengan cerita yang menggantung berusan. Aku sedang menikmati kulit ayam garing dari adikku. Adikku tak suka kulitnya, padahal itu ayam kerewes-kerewes (maksudnya, ayam yang seperti di KFC atau McD, maaf kebiasaan). Baiklah, kuceritakan lagi ya, padamu. Ternyata, Bu Wanti sudah bersiap-siap dengan kameranya. Aku bingung Bu Wanti yang sempat menjadi guru bahasa inggrisku saat kelas dua dan tiga ini mau melakukan apa. Ternyata…


“Ya anak-anak! Ternyata ada teman kita yang berulang tahun di hari pramuka ini! Sarah Fauziyyah Hanaaa!!! Ayo, Sarahnya maju kedepan…”, kata Pak Aat. Bu Wanti bersiap-siap dengan kameranya saat aku maju kedepan, gayanya seperti sutradara. Aku diberi selamat oleh teman-temanku. Baik itu Ulva, Rifka, Vici, Juan, Adit, pokoknya semua. Lalu aku diberi kalung berwarna hitam dari Pak Aat dan guru-guru. Setelah itu, kami pun pulang…
Kami berkemas. Setelah membereskan urusan tenda dan kerabatnya, kami pun bergegas ke mobil yang telah disediakan. Aku ikut mobil Dina. Tidak seperti saat pergi ke Kiara Payung, pulangnya aku tertidur di dalam mobil.


Sampai di sekolah, aku langsung menuju ke teman-teman di lapangan, yang sedang berolahraga (Tanpa Bu Indri tentunya, karena beliau ikut ke Kiara Payung). Tentu, aku disambut oleh teman-temanku. Tak disangka, teman-temanku berkata begini, “ Mmm… Sar… Gak mandi berapa hari? Kok kulitnya agak… mmm… hitam, ya?” kata mereka, dengan nada yang dibuat sesopan mungkin. “Haha… Aku gak mandi tiga hari dua malam! Tapi jangan kira aku sama sekali tidak membersihkan diri ya! Tadi pagi aku gosok gigi dan cuci muka dengan Biore. Ha…ha!” kataku dengan riang. Lalu, kami berbagi keceriaan…


Akhirnya aku pulang bersama Ibu, yang kebetulan menjemput adikku, yang duduk di kelas IA. Sebelum pulang ke rumah, aku dan Ibu dan Adikku mampir sebentar ke Borma, membeli pernak-pernik dalam rangka hari ulangtahunku…


Itulah, kawan. Itulah ceritaku tentang Kiara Payung, selama tiga hari dua malam. Selamat tinggal!!!


TAMAT

2 komentar:

Anonim mengatakan...

salam kenal yah :)
kalau ada waktu kunjungi blogQ juga yah.ceritanya bagus
http://f4dLyfri3nds.blogspot.com

Anonim mengatakan...

mksih udh sempetin beri komentr :)